Cimahi (Lawunews.Com)
Berdasarkan
laporan data demografi penduduk internasional yang dikeluarkan oleh Bureau of the Census USA
(2005, Dikutip oleh Darmojo, 2006) bahwa di Indonesia pada kurun waktu tahun
1990-2025 akan terjadi kenaikan jumlah lanjut usia sebesar 41%, suatu angka
kenaikan tertinggi di dunia. Peningkatan jumlah lansia dikarenakan angka harapan
hidup yang semakin tinggi.
Adanya peningkatan jumlah lansia, masalah kesehatan
yang dihadapi bangsa Indonesia menjadi semakin kompleks, terutama yang
berkaitan dengan gejala penuaan Semakin
meningkatnya jumlah lansia maka perlu diperhatikan juga kesehatannya, karena lansia mengalami banyak kemunduran yang bersifat
degeneratif. Menurut Bustan
(2007), penyakit atau gangguan yang menonjol pada kelompok lansia adalah
gangguan pembuluh darah (dari hipertensi sampai stroke). Hipertensi merupakan
salah satu penyakit yang mengakibatkan angka kesakitan yang tinggi.
Menurut Basha (2009)
hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan
darah di atas normal yang mengakibatkan angka kesakitan dan angka kematian .
Sustrani, dkk (2006)
mengatakan hipertensi sering kali disebut sebagai pembunuh diam-diam (silent killer) karena termasuk yang mematikan tanpa disertai dengan
gejala-gejalanya lebih dahulu sebagai peringatan bagi korbannya. Menurut WHO (2002) batas normal
tekanan darah adalah 120–140 mmHg tekanan sistolik dan 80 – 90 mmHg tekanan
diastolik. Seseorang dinyatakan mengidap hipertensi bila tekanan darahnya ≥
140/90 mmHg.
Tekanan
darah yang tinggi merupakan salah satu faktor resiko untuk stroke, serangan
jantung, gagal jantung dan merupakan penyebab utama gagal jantung kronis (Sustrani, dkk, 2006). Hipertensi
secara umum dibagi atas dua jenis, hipertensi primer dan hipertensi sekunder.
Hipertensi Primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya (Gunawan,
2001) sebanyak 90-95% kasus hipertensi tidak diketahui penyebabnya. Sedangkan
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain..
Penyebab
penyakit hipertensi secara umum diantaranya aterosklerosis (penebalan dinding
arteri yang menyebabkan hilangnya elastisitas pembuluh darah), keturunan,
bertambahnya jumlah darah yang dipompa ke jantung, penyakit ginjal, sistem saraf simpatis, obesitas, tekanan
psikologis, stres, dan ketegangan bisa menyebabkan hipertensi (Marzuky, 2008). Sedangkan
penyebab hipertensi pada lansia adalah terjadinya perubahan-perubahan pada:
elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi kaku,
kemampuan jantung memompa darah menurun. 1% setiap tahun sesudah berumur 20
tahun kemampuan jantung memompa darah mengalami penurunan, sehingga dapat
menyebabkan hipertensi (Marzuky,
2008).
Akibat
tekanan darah tinggi yang berlanjut dan tidak tertangani secara tepat,
mengakibatkan jantung bekerja lebih keras, hingga otot jantung membesar. Kerja
jantung yang meningkat menyebabkan pembesaran yang dapat berlanjut menjadi
gagal jantung (heart failure). Selain
itu, tekanan darah tinggi juga berpengaruh terhadap pembuluh darah koroner di
jantung berupa terbentuknya plak (timbunan) aterosklerosis yang dapat
mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah dan menghasilkan serangan jantung (heart attack) (Merdikoputro, 2008).
Untuk
mencegah agar hipertensi tidak menyebabkan komplikasi lebih lanjut maka
diperlukan penanganan yang tepat dan efisien. Menurut Marlia (2009) penanganan hipertensi secara umum yaitu secara
farmakologis dan nonfarmakologis. Penanganan secara farmakologis terdiri atas pemberian
obat yang bersifat diuretik, simpatetik, betabloker, dan vasodilator dengan
memperhatikan tempat, mekanisme kerja dan tingkat kepatuhan. Penanganan
secara farmakologis dianggap mahal oleh masyarakat, selain itu penanganan
farmakologis juga mempunyai efek samping. Efek samping tersebut bermacam-macam
tergantung dari obat yang digunakan.
Penanganan nonfarmakologis yaitu meliputi
penurunan berat badan, olah raga secara teratur, diet rendah lemak dan garam, dan
terapi komplementer. Penanganan secara nonfarmakologis sangat diminati oleh
masyarakat karena sangat mudah untuk dipraktekkan dan tidak
mengeluarkan biaya yang terlalu banyak. Selain itu, penanganan nonfarmakologis
juga memiliki efek samping yang minimal tidak seperti penanganan farmakologis. Sehingga
masyarakat lebih menyukai penanganan secara nonfarmakologis dari pada secara
farmakologis (Marlia, 2009).
Setiawati,
S.Kp., M.Kep.
Dosen Ilmu
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani Cimahi.
No comments:
Post a Comment