Sunday, February 23, 2014

H.Soeroso Dasar : Pemerintah Setengah Hati Dalam Persoalan Kependudukan dan KB

Bandung (Lawunews.Com) 
Pemerintah dinilai setengah hati untuk persoalan kependudukan dan Keluarga Berencana (KB).Menurut Dosen dan peneliti senior Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran (Unpad) Soeroso Dasar , jumlah penduduk tidak dikendalikan dalam beberapa dekade ke depan, Pulau Jawa diperkirakan akan tenggelam.

Ketidakseriusan pemerintah itu jelas terlihat dari anggaran yang disisihkan untuk pengendalian penduduk. “Yang pasti anggaran untuk KB pada waktu reformasi jumlahnya dipangkas hingga setengah dari tahun sebelumnya. Ketika rezim berubah, program KB mulai terlupakan. Pemerintah sibuk mengurusi persoalan politik, demokrasi dan HAM, “ terangnya.

Pria sederhana itu menyebutkan, program KB yang pernah “didewakan” pada Orde Baru itu langsung termajinalkan. Puncaknya, Menteri Kependudukan digusur dalam deretan Kabinet. Soeroso Dasar yang kini masih menjadi penasehat Koalisasi Daerah untuk Kependudukan dan Kependudukan Jawa Barat kepada awak media di lokasi Hotel Mangkubumi Tasikmalaya beberapa waktu lalu menuturkan, KB atau family planning merupakan sebuah mahakarya temuan manusia untuk menjadikan dunia seimbang dan lebih beradab. 

“Keseimbangan penduduk dunia merupakan harga mati agar planet Bumi dapat dipertahankan. Siapapun pemerintahnya di suatu negara yang menganggap enteng program KB, itu sama saja dengan upaya menggali kuburannya sendiri, “ terangnya. Mengenai pentingnya KB, beliau menyuarakan, sejak 1979, Bahkan, ketika Haryono Suyono, mantan Menteri Negara Kependudukan dan Kepala BKKBN Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) masih menjadi deputi beberapa bidang di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). 

Namun, aspirasi yang diungkapkannya dianggap berbagai kalangan seperti angin lalu. “Saya seperti berteriak dipadang pasir, “akunya. Kendati demikian, Soeroso tidak patah arang menyuarakan perencanaan keluarga ini. Sejumlah buku berhasil dituliskan sebagai pemaparan program keluarga yang cukup dengan dua anak ini.Tak hanya itu, sejumlah artikel dan opininya pun dimuat dalam berbagai media massa. Terakhir, buku berjudul KB mati, dikubur berdiri diterbitkan pada 2011. 

Saking kerasnya, beberapa kali ayah dua orang anak ini diancam pemerintah, Saat itu pada masa orde baru.“Waktu itu saya menulis artikel berjudul Isapan Jempol Swasembada Pangan di Kompas tahun 1980. Setelah terbit, saya diancam untuk tidak boleh menulis lagi. 

Ancamannya, kalau mau jadi PNS terus, berhenti, jangan nulis, Ancaman itu kabarnya sampai ke kampung ibu saya di Medan, “tutur sang peraih penghargaan Wira Karya Kencana dan pemerintahan pada 2010 lalu. Lebih jauh mengenai pembangunan KB itu dianalogikan dengan pembangunan infrastruktur. Dia menjelaskan, pembangunan terhadap kesejahteraan masyarakat. 

Justru, pembangunan KB diakuinya sudah pasti signifikan.“Intinya, kita harus mempertimbangkan masalah dihulu, yakni pengendalian penduduk. Saya nggak bisa membayangkan jika ledakan penduduk terjadi lagi di Indonesia, “tegas sang juara I tingkat Nasional sayembara Penulisan Masalah Kependudukan dan KB 1982-1983. 

Contoh lain, Soeroso mengaku tidak sepakat dengan penyebab banjir yang akhir-akhir ini melanda di berbagai daerah di Indonesia itu diakibatkan sampah. Ada juga yang menyebutkan itu dapat diatasi dengan membuat sodetan.“Banjir di berbagai daerah itu bukan karena sampah. Atau, macet itu karena banyak mobil. Banjir di Bandung Selatan itu juga bukan karena gara-gara banyak penduduk yang berladang di gunung, itu nggak betul. Yang benar, banjir itu gara-gara jumlah penduduk. Itu masalah intinya, “tegas Seoroso.
 
Kuli Aduk
Perjalanan seorang Soeroso Dasar cukup berliku. Dilahirkan dari keluarga yang tidak beruntung, dia mengaku harus pontang-panting mencari penghasilan. Pasalnya, ayahnya meninggal dunia saat dia masih duduk di kelas 1 SMP, “Waktu SMA di Medan, saya pernah menjadi laden (pembantu) kuli aduk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, “katanya. Bahkan, saat ke Kota Bandung untuk kuliah, dia tak malu menjadi supir angkutan umum. Waktu itu dia menjadi supir bemo jurusan Kiaracondong - Kebon Kalapa, tak hanya itu, usaha untuk mendapat uang itu diperolehnya dengan menjadi buruh tukang ketik skripsi.

 “Saya juga waktu tinggal di Bandung ini cari yang gratis. Kalau tidak di asrama, saya juga tidur di kostan teman.Waktu di Bandung itu saya lalui dengan cucuran darah dan keringat, Untuk itu, saya banyak berutang budi kepada orang-orang yang membantu saya dulu, “sebut pria kelahiran Deli Serdang, 12 Maret 1952 itu. Namun, suami Dewi Indrawati ini berprinsip Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang kalau bukan orang itu yang berubah.Berlandaskan hal itu anak yang dididik dalam keluarga Muhammadiyah yang kental itu sukses dan berhasil ditanah perantauan. 

Kini, bersama keluarga kecilnya tinggal di Kompleks Aria Graha Regensi, Jalan Aria Timur IV No. 12, Kota Bandung dan saat ini menikmati karier sebagai dosen dan peneliti senior Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran, ketua Ikatan Penulis dan Pemerhati Kependudukan dan KB (IPKB) Jawa Barat, penasehat koalisi daerah untuk kependudukan dan kependudukan Jawa Barat serta penasehat majelis dzikir dan doa di masjid Nurul Qolbi Bandung. (Mamay)

No comments:

Koprasi Warga Cimahi Mandiri Menggelar RAT Tepat Waktu

Cimahi (LawuPost)  Koperasi yang sehat dan baik adalah Koperasi yang mampu melaksanakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) tepat waktu, dan Rap...