Ciamis (Lawunews.Com) Pemilu atau pemilihan umum, begitu kita
menyebutnya di negeri tercinta ini. Kita jumpai selama lima tahun sekali. Kini,
kibaran bendera parpol menjemput kita lagi. Begitu juga pada saat di rumah,
kita disajikan setiap hari pariwara beberapa televisi lengkap dengan para tokoh
politiknya.
Ya, kita maklumi bersama, jelang Pemilu
2014 mereka membutuhkan kita. Dimana keterlibatan seluruh rakyat pemilih akan
menentukan hak politiknya secara demokratis untuk memilih langsung figur
presiden atau anggota legislatif berdasarkan hati nurani dan akal sehatnya
masing-masing.
Siapa yang dianggap paling pantas menjadi
‘Orang Nomor Satu' di Republik ini, dan siapa yang lebih layak menduduki kursi
mewakili rakyat di gedung parlemen; pusat, provinsi dan kabupaten. Semua ini
akan terjawab pasca Pemilu 9 April 2014 nanti, setelah dilaksanakan secara
serempak di seluruh penjuru tanah air.
Kita yang berdomisili (berKTP) di
wilayah Priangan Timur (Kabupaten Ciamis, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut,
Kabupaten Tasikmalaya / Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Pangandaran) selaku
Warga Negara Indonesia yang baik dan taat sudah barang tentu akan menghormati
Undang-undang yang berlaku untuk ikut serta menyukseskan Pemilu 2014.
Fungsi Pemilu
Pemilu suatu mekanisme pengartikulasi
aspirasi dan kepentingan politik warga negara, setidaknya memiliki empat
fungsi. Yakni sebagai alat legimitasi politik, menciptakan perwakilan politik,
sirkulasi elite politik dan pendidikan politik.
Sebagai alat legitimasi, melalui
Pemilu, pemerintahan baru yang terbentuk memiliki basis legitimasi yang kuat
untuk mengatur segala ‘tetek bengek’ persoalan Negara. Ini menjadi penting
karena sebuah pemerintahan tanpa basis legitimasi yang kuat akan rentan
terhadap goyangan dan sodokan.
Pemilu juga diarahkan untuk menciptakan
perwakilan politik. Artinya, lewat Pemilu warga Negara akan memilih wakil-wakil
mereka untuk duduk dalam parlemen. Proses ini sekaligus bermanfaat bagi terjadinya
sirkulasi elite politik. Wakil rakyat yang dalam kinerjanya (reputasi/kondite)
kurang mendengar dan mengartikulasikan kepentingan pemilih bisa saja masa
berikutnya ditinggalkan pemilihnya.
Selain itu pesta demokrasi rakyat ini
juga diarahkan bagi pendidikan politik. Dengan terlibat langsung dalam proses
pemilu diharapkan tiap warga Negara akan mendapatkan pengalaman langsung
(bagi pemula khususnya) bagaimana layaknya seorang warga Negara berkiprah
dalam sistem demokrasi.
Keempat fungsi di atas sudah lazim
diketahui dan dipraktekan hampir di semua Negara penganut demokrasi. Tak terkecuali
di Indonesia. Pengalaman kesepuluh kalinya Pemilu yang akan dan telah
dilaksanakan ( th.1955, 1972.1977,1982, 1987. 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan
2014) - satu kali di masa orde lama (orla) dan enam kali masa orba-semuanya
diarahkan untuk memenuhi empat fungsi tersebut. Menurut catatan sejarah,
perjalanan Pemilu di Indonesia yang paling demokratis dan bermakna pada tahun
1955 (dan kalau boleh ditambahkan, 1999, 2004). Pemilu berlangsung betul-betul
bebas dari intervensi pemerintah (?)
"Kejahatan"
dalam Pemilu
Paling tidak ada lima "kejahatan"
yang terkait dalam politik uang atau
politik suap menjelang dan hari
"H" Pemilu 2009 yang perlu kita waspadai bersama-sama:
Pertama,
mereka
para penyuap politik, sesungguhnya sedang mendidik rakyat untuk memiliki
mentalitas pengemis, sebagian rakyat kita selalu diiming-imingi uang untuk
pergi ke lapangan dalam rangka mendengarkan ceramah atau temu kader atau apa
saja yang dikaitkan dengan uang, uang dan uang.
Mentalitas pengemis ini amat buruk
didalam pembangunan karakter dan 'watak rakyat oleh karena apabila pendidikan
pengemis ini telah tertanam di sebagian rakyat kita, maka untuk memperbaikinya
perlu waktu yang sangat lama.
Kedua,
politik
uang merupakan kecurangan yang kasat mata yang begitu terang benderang dan
harus kita lawan bersama. Masalahnya uang yang dibagi-bagikan oleh penyuap itu
uang dari mana ? apakah dari pemerintah atau (meskipun dari partai sekalipun
tetap saja sumbernya dari rakyat pula. Jadi. atas hak apa para penyuap politik
itu menggunakan uang pemerintah mencapai tujuan-tujuan piciknya itu? Dalam
kaitan inilah seluruh rakyat/masyarakat harus mengangkat kepala dan memprotes
keras supaya politik uang dihentikan karena termasuk bahaya-latent Pemilu dalam mengisi alam demokrasi dan kita tidak
perlu lagi toleransi sama sekali.
Ketiga,
politik
suap juga merupakan kejahatan karena merupakan sebuah penghinaan kepada akal
sehat manusia (an insult to human
reasons) - diberbagai tempat dan kesempatan - sementara jumluh penyuap
politik itu dengan tanpa malu-malu mengatakan bahwa suapan-suapan itu katanya
berintikan maksud yang luhur yaitu menolong masyarakat yang sedang kekurangan.
Sehingga dapat dilihat sebagai sebuah usaha kemanusiaan.
Kemudian mereka juga mengatakan, apabila
yang disuapnyu itu memilih salah satu kandidat yang dikehendakinya merupakan
yang patut disyukuri. Ironis sekali, memang. Maka pelaku yang demikian, kita
cap sebagai ‘Penjahat Kemanusiaan’ sebab mereka itu telah memindahkan hak
politik seseorang (dengan berlaku curang) dalam mengisi alam demokrasi.
Keempat,
kita
harus melihat bahwa para penyuap itu apabila sampai masuk kelingkaran
kekuasaan (eksekutif/legislatit) kembali, jelas mereka akan menghitung biaya pengeluaran yang
dipergunakan pada saat melakukan kecurangan-kecurangan di lapangan. Karena
cara mencapai tujuan sudah menghalalkan segala cara, maka untuk mengisi
/menduduki kekuasaan sudah tentu juga akan didigunakan segala cara pula, apakah
cara itu terkutuk atau merugikan rakyat.
Kelima, tidak usah diragukan bahwa hasil sebuah Pemilu yang
ditandai deng,an politik Suap itu dapat dikatakan akan kehilangan legitimasi atau keabsahan.
Dalam kaitan ini bisa dikatakan yang
menang bukanlah rakyat, tapi yang menang adalah kelompok para penyuap itu yang
sudah kehilangan rasa malu dan bisa dibayangkan apabila demokrasi Indonesia
(khususnya; di Sumedang, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis) terjadi demikian
dipegang oleh manusia-manusia tanpa rasa malu kader-kader ingusan, yang
kemudian juga akan gagal membedakan antara kepentingUan pribadi, kepentingan
keluarga dan kepentingan golongan maupun kepentingan rakyat di tatar Priangan
Timur secara keseluruhan.
Pada era orde baru Pemilu secara
kuantitatif menyiratkan tingginya peran serta masyarakat dilihat dari angka
pemilih yang mendekati 90%, justru secara kualitatif mengalami penurunan
(Arbi Sanit, Demokrasi Indonesia): Apa
pasal? Pemilu orba telah kehilangan makna. Makna pemilu diredusir sematamata
diarahkan menjadi alat legitimasi rezim untuk melanggengkan kekuasaannya.
Rakyat dimobilisasi dan diintimidasi untuk mencoblos partai tertentu.
Sehingga, pemilu lebih menjadi ceremony politik daripada menjadi alat
artikulasi aspirasi dan keinginan warga Negara. Betul, masyarakat berbondong-bondong
datang ke TPS-TPS untuk memberikan suaranya namun proses setelah itu mereka tak
dilibatkan sama sekali. Urusan selanjutnya beralih kesegelintir elit politik
saja. Dan, hampir selama tiga dasawarsa (orba) terakhir, pemasungan politik ini
berjalar secara sistematis. Akibatnya rakyat menjadi apolitis dan begitu
skeptis dengan urusan politik.
Selepas Rezim Orba
Namun, setelah tumbang pemerintahan orde
baru pada tahun 1998. Pelaksanaan pemilu betul-betul demokratis. Geliat salah
satu partai politik ditengah-tengah multi partai kembuli mendapat kepercayaan
dari jutaan rakyat Indonesia. Pengalaman pahit diera orde baru, justru
memunculkan `sense of interest (rasa empati) mendalam ter hadap tokohnya.
Berjala pelan namun pasti, puncak klimak kemenangan akhirnya di capai. Dengan
rumusnya, poco a poco (sedikit demi sedikit) jumlah massanya tetap membukit.
Begitu juga, partai yang seringkali
dijuluki `single majority' (mayoritas tunggal) kembali bernafas lega, pasalnya
kepercayaan rakyat di setia penjuru tanah air masih tersimpan dengan baik.
`Resep' paradigma baru kepartaian, merupakan pendorong untuk berkarya, dan
berkarya nyata terus.
Hal ini terbukti hasilnya selalu
mendominasi peraihan suara dan pengisian kursi digedung parlemen. Rumus yang
dijadikan senjata pamungkas mungkin 'diksi' dari Veni, Vidi, Vici (datang,
lihat, dan harus menang).
Namun, bagaimana dengan Pemilu 2014
nanti? Apakah kedudukannya di parlemen bertahan, bertambah atau bahkan
(mungkin) berkurang jumlahnya? Di tengah-tengah kibaran bendera parpol baru,
beraneka warna dan beragam tokohtokohnya. Mampukah bersaing pada saat di
`medan tempur' nanti? Jawaban yang pasti, ada di masing-rnasing parpol dengan
strateginya sejak sekarang.
Hal yang lumrah atau manusiawi, jika rasa kekhawatiran masih mengendap
sampai saat ini, bahwa di tengah semangat dan keyakinan tinggi, tetap masih ada
sedikit keraguan akan pelaksanaan pemilu nanti; Betulkah akan se-jurdil yang
dibayangkan?
Ya, memang! Panwaslu di setiap daerah
terbentuk. Namun, profesionalkah dalam melaksanakan tugasnya nanti? Dan,
bagaimana partisipasi atau kesadaran masyarakat (rakyat-pemilih) terhadap Pemilu
2009 pasca Pilkada (Pilbup/Pilkot dan Pilgub) 2013?
Salah satu buku "Demokrasi Rakyat
Negara Maju" karya Dennis F Thompson, "Partisipasi politik di
negara-negara yang menerapkan sistem politik demokrasi merupakan hak warga
negara, tetapi dalam kenyataan persentase warga negara yang berpartisipasi
berbeda dari satu negara ke negara yang lain. Dengan kata lain, tidak semua
warga negara ikut serta dalam proses politik."
Tulisan Dennis F Thompson tersebut
diatas, menjelaskan ketiduk-ikutsertaan rakyat pemilih dalam Pemilu di suatu
Negara.
Pun demikian, Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) pernah mengatakan bahwa rakyat Indonesia mungkin saja merasa
lelah karena (setelah) menghadapi Pilbup, Pilgub dan sekarang Pemilu 2014.
Merasa nyamankah mereka, terpaksakah mereka, atau merasa terpanggilkah mereka
pada saatnya nanti?
Asumsi Presiden kita memang beralasan,
dan sangat masuk akal bahwa beban hidup rakyat (khususnya; sandang, papan,
pangan, dll) selama ini masih dirasakan mendera rakyat Indonesia.
Maka logika dan korelasinya dengan
pernyataan Presiden SBY dapat ditarik kesimpulan bahwa Pemilu 2014 merupakan
saripati demokrasi. Dan legitimasi terbentuknya suatu pemerintahan baru dari
suara rakyat. Maka, seberat apapun yang dipikul nanti, para penyelenggara
negara (pusat dan daerah) harus dapat mengemong dan mengayomi rakyat di
masing-masing daerahnya untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan hak
politiknya dalam Pemilu 2014.
Dengan demikian, ada tepatnya
juga idiomatik seorang filsuf menyatakan “Vox Populis Vox Dei” (Suara Rakyat
Suara Tuhan). Sebab, tanpa suara rakyat, legitimasi pemerintahan
diragukan keabsahannya! Selamat merenungkan.(Penulis wartawan Media Bangsa)
No comments:
Post a Comment