Sunday, February 23, 2014

Menuju “Kursi” Presiden dan Legislatif 2014


Ciamis (Lawunews.Com) Pemilu atau pemilihan umum, begitu kita menyebutnya di negeri tercinta ini. Kita jumpai selama lima tahun sekali. Kini, kibaran bendera parpol menjemput kita lagi. Begitu juga pada saat di rumah, kita disajikan setiap hari pariwara beberapa televisi lengkap dengan para tokoh poli­tiknya.

 Ya, kita maklumi bersama, jelang Pemilu 2014 mereka membutuhkan kita. Dimana keterlibatan seluruh rakyat ­pemilih akan menentukan hak politiknya secara demokratis untuk memilih langsung figur presiden atau anggota legislatif berdasarkan hati nurani dan akal sehatnya masing-masing. 

Siapa yang dianggap paling pantas menjadi ‘Orang Nomor Satu' di Republik ini, dan siapa yang lebih layak menduduki kursi mewakili rakyat di ge­dung parlemen; pusat, provin­si dan kabupaten. Semua ini akan terjawab pasca Pemilu 9 April 2014 nanti, setelah dilak­sanakan secara serempak di seluruh penjuru tanah air.

Kita yang berdomisili (ber­KTP) di wilayah Priangan Ti­mur (Kabupaten Ciamis, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya / Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Pangandaran) selaku Warga Negara In­donesia yang baik dan taat su­dah barang tentu akan meng­hormati Undang-undang yang berlaku untuk ikut serta me­nyukseskan Pemilu 2014.

Fungsi Pemilu
Pemilu suatu mekanisme pengartikulasi aspirasi dan ke­pentingan politik warga negara, setidaknya memiliki empat fungsi. Yakni sebagai alat le­gimitasi politik, menciptakan perwakilan politik, sirkulasi elite politik dan pendidikan po­litik.

Sebagai alat legitimasi, mela­lui Pemilu, pemerintahan baru yang terbentuk memiliki basis legitimasi yang kuat untuk mengatur segala ‘tetek bengek’ persoalan Negara. Ini menjadi penting karena sebuah pemer­intahan tanpa basis legitimasi yang kuat akan rentan terhadap goyangan dan sodokan.

Pemilu juga diarahkan untuk menciptakan perwakilan poli­tik. Artinya, lewat Pemilu war­ga Negara akan memilih wakil-­wakil mereka untuk duduk dalam parlemen. Proses ini sekaligus bermanfaat bagi ter­jadinya sirkulasi elite politik. Wakil rakyat yang dalam kin­erjanya (reputasi/kondite) ku­rang mendengar dan mengar­tikulasikan kepentingan pemil­ih bisa saja masa berikutnya ditinggalkan pemilihnya.

Selain itu pesta demokrasi rakyat ini juga diarahkan bagi pendidikan politik. Dengan ter­libat langsung dalam proses pe­milu diharapkan tiap warga Ne­gara akan mendapatkan penga­laman langsung (bagi pemula khususnya) bagaimana layak­nya seorang warga Negara ber­kiprah dalam sistem demokrasi.

Keempat fungsi di atas sudah lazim diketahui dan diprak­tekan hampir di semua Negara penganut demokrasi. Tak terke­cuali di Indonesia. Pengalaman kesepuluh kalinya Pemilu yang akan dan telah dilaksanakan ( th.1955, 1972.1977,1982, 1987. 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014) - satu kali di masa orde lama (orla) dan enam kali masa orba-semuanya diarahkan un­tuk memenuhi empat fungsi tersebut. Menurut catatan se­jarah, perjalanan Pemilu di In­donesia yang paling demokratis dan bermakna pada tahun 1955 (dan kalau boleh ditambahkan, 1999, 2004). Pemilu berlang­sung betul-betul bebas dari in­tervensi pemerintah (?)

"Kejahatan" dalam Pemilu
Paling tidak ada lima "keja­hatan" yang terkait dalam poli­tik uang atau politik suap men­jelang dan hari "H" Pemilu 2009 yang perlu kita waspadai bersama-sama:

Pertama, mereka para penyu­ap politik, sesungguhnya se­dang mendidik rakyat untuk memiliki mentalitas pengemis, sebagian rakyat kita selalu di­iming-imingi uang untuk pergi ke lapangan dalam rangka mendengarkan ceramah atau temu kader atau apa saja yang dikaitkan dengan uang, uang dan uang.

Mentalitas pe­ngemis ini amat buruk didalam pembangunan ka­rakter dan 'watak rakyat oleh karena apabila pendidikan pengemis ini telah tertanam di seba­gian rakyat kita, maka untuk mem­perbaikinya perlu waktu yang sangat lama.

Kedua, politik uang merupakan kecurangan yang kasat mata yang begitu terang ben­derang dan harus kita lawan bersa­ma. Masalahnya uang yang dibagi-bagikan oleh penyuap itu uang dari mana ? apa­kah dari pemerintah atau (mes­kipun dari partai sekalipun tetap saja sumbernya dari raky­at pula. Jadi. atas hak apa para penyuap politik itu menggu­nakan uang pemerintah menca­pai tujuan-tujuan piciknya itu? Dalam kaitan inilah seluruh rakyat/masyarakat harus mengangkat kepala dan memprotes keras supaya politik uang di­hentikan karena termasuk ba­haya-latent Pemilu dalam me­ngisi alam demokrasi dan kita tidak perlu lagi toleransi sama sekali.

Ketiga, politik suap juga merupakan kejahatan karena merupakan sebuah penghinaan kepada akal sehat manusia (an insult to human reasons) - diberbagai tempat dan kesem­patan - sementara jumluh pe­nyuap politik itu dengan tanpa malu-malu mengatakan bahwa suapan-suapan itu katanya ber­intikan maksud yang luhur yaitu menolong masyarakat yang sedang kekurangan. Se­hingga dapat dilihat sebagai se­buah usaha kemanusiaan.

Kemudian mereka juga mengatakan, apabila yang disuap­nyu itu memilih salah satu kan­didat yang dikehendakinya me­rupakan yang patut disyukuri. Ironis sekali, memang. Maka pelaku yang demikian, kita cap sebagai ‘Penjahat Kemanusia­an’ sebab mereka itu telah me­mindahkan hak politik seseo­rang (dengan berlaku curang) dalam mengisi alam demokrasi.

Keempat, kita harus melihat bahwa para penyuap itu apabi­la sampai masuk kelingkaran kekuasaan (eksekutif/legislatit) kembali, jelas mereka akan menghitung biaya pengeluaran yang dipergunakan pada saat melakukan kecurangan-kecu­rangan di lapangan. Karena cara mencapai tu­juan sudah mengha­lalkan se­gala cara, maka untuk mengisi /menduduki kekuasaan sudah tentu juga akan didigunakan segala cara pula, apakah cara itu terkutuk atau merugikan rakyat.

Kelima, tidak usah diragukan bahwa hasil sebuah Pemilu yang ditandai deng,an politik Suap itu dapat dikatakan akan kehilangan legitimasi atau keabsahan.

Dalam kaitan ini bisa dikata­kan yang menang bukanlah rakyat, tapi yang menang ada­lah kelompok para penyuap itu yang sudah kehilangan rasa malu dan bisa dibayangkan apabila demokrasi Indonesia (khususnya; di Sumedang, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis) terjadi demikian dipegang oleh manusia-manusia tanpa rasa malu kader-kader ingusan, yang kemudian juga akan gagal membedakan antara kepentingUan pribadi, kepentingan kelu­arga dan kepentingan golongan maupun kepentingan rakyat di tatar Priangan Timur secara ke­seluruhan.     

Pada era orde baru Pe­milu secara kuantitatif menyiratkan tingginya peran serta masyarakat dilihat dari angka pemilih yang men­dekati 90%, justru secara kual­itatif mengalami penurunan (Arbi Sanit, Demokrasi Indo­nesia): Apa pasal? Pemilu orba telah kehilangan makna. Mak­na pemilu diredusir semata­mata diarahkan menjadi alat le­gitimasi rezim untuk melang­gengkan kekuasaannya. 

Raky­at dimobilisasi dan diintimidasi untuk mencoblos partai terten­tu. Sehingga, pemilu lebih menjadi ceremony politik dari­pada menjadi alat artikulasi as­pirasi dan keinginan warga Negara. Betul, masyarakat ber­bondong-bondong datang ke TPS-TPS untuk memberikan suaranya namun proses setelah itu mereka tak dilibatkan sama sekali. Urusan selanjutnya beralih kesegelintir elit politik saja. Dan, hampir selama tiga dasawarsa (orba) terakhir, pemasungan politik ini berjalar secara sistematis. Akibatnya rakyat menjadi apolitis dan begitu skeptis dengan urusan politik.

Selepas Rezim Orba
Namun, setelah tumbang pemerintahan orde baru pada tahun 1998. Pelaksanaan pemilu betul-betul demokratis. Geliat salah satu partai politik ditengah-tengah multi partai kembuli mendapat kepercayaan dari jutaan rakyat Indonesia. Pengalaman pahit diera orde baru, justru memunculkan `sense of interest (rasa empati) mendalam ter hadap tokohnya. Berjala pelan namun pasti, puncak klimak kemenangan akhirnya di capai. Dengan rumusnya, poco a poco (sedikit demi sedikit) jumlah massanya tetap membukit.

Begitu juga, partai yang seringkali dijuluki `single majority' (mayoritas tunggal) kembali bernafas lega, pasalnya kepercayaan rakyat di setia penjuru tanah air masih tersimpan dengan baik. `Resep' paradigma baru kepartaian, merupakan pendorong untuk berkarya, dan berkarya nyata terus.

Hal ini terbukti hasilnya selalu mendominasi peraihan suara dan pengisian kursi digedung parlemen. Rumus yang dijadikan senjata pamungkas mungkin 'diksi' dari Veni, Vi­di, Vici (datang, lihat, dan ha­rus menang).

Namun, bagaimana dengan Pemilu 2014 nanti? Apakah ke­dudukannya di parlemen berta­han, bertambah atau bahkan (mungkin) berkurang jumlah­nya? Di tengah-tengah kibaran bendera parpol baru, beraneka warna dan beragam tokoh­tokohnya. Mampukah bersaing pada saat di `medan tempur' nanti? Jawaban yang pasti, ada di masing-rnasing parpol den­gan strateginya sejak sekarang.

Hal yang lumrah atau manu­siawi, jika rasa kekhawatiran masih mengendap sampai saat ini, bahwa di tengah semangat dan keyakinan tinggi, tetap masih ada sedikit keraguan akan pelaksanaan pemilu nan­ti; Betulkah akan se-jurdil yang dibayangkan?

Ya, memang! Panwaslu di setiap daerah terbentuk. Na­mun, profesionalkah dalam melaksanakan tugasnya nanti? Dan, bagaimana partisipasi atau kesadaran masyarakat (rakyat-pemilih) terhadap Pe­milu 2009 pasca Pilkada (Pil­bup/Pilkot dan Pilgub) 2013?

Salah satu buku "Demokrasi Rakyat Negara Maju" karya Dennis F Thompson, "Partisi­pasi politik di negara-negara yang menerapkan sistem poli­tik demokrasi merupakan hak warga negara, tetapi dalam ke­nyataan persentase warga ne­gara yang berpartisipasi berbe­da dari satu negara ke negara yang lain. Dengan kata lain, tidak semua warga negara ikut serta dalam proses politik."

Tulisan Dennis F Thompson tersebut diatas, menjelaskan ketiduk-ikutsertaan rakyat­ pemilih dalam Pemilu di suatu Negara.

Pun demikian, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengatakan bahwa rakyat Indonesia mung­kin saja merasa lelah karena (setelah) menghadapi Pilbup, Pilgub dan sekarang Pemilu 2014. Merasa nyamankah me­reka, terpaksakah mereka, atau merasa terpanggilkah mereka pada saatnya nanti?

Asumsi Presiden kita me­mang beralasan, dan sangat masuk akal bahwa beban hidup rakyat (khususnya; sandang, papan, pangan, dll) selama ini masih dirasakan mendera rakyat Indonesia.

Maka logika dan korelasinya dengan pernyataan Presiden SBY dapat ditarik kesimpulan bahwa Pemilu 2014 merupakan saripati demokrasi. Dan legitimasi terbentuknya suatu pemerintahan baru dari suara rakyat. Maka, seberat apapun yang dipikul nanti, para penye­lenggara negara (pusat dan daerah) harus dapat menge­mong dan mengayomi rakyat di masing-masing daerahnya untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan hak politiknya dalam Pemilu 2014.

Dengan demikian, ada tepat­nya juga idiomatik seorang fil­suf menyatakan “Vox Populis Vox Dei” (Suara Rakyat Suara Tuhan). Sebab, tanpa suara rakyat, legitimasi pemerintahan diragukan keabsahannya! Selamat merenungkan.(Penulis wartawan Media Bangsa)

No comments:

Koprasi Warga Cimahi Mandiri Menggelar RAT Tepat Waktu

Cimahi (LawuPost)  Koperasi yang sehat dan baik adalah Koperasi yang mampu melaksanakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) tepat waktu, dan Rap...