Kuningan (Lawunews.Com)
Pesta demokrasi untuk memilih calon legislatif usai sudah. Namun, ada masalah yang masih menggumpal di benak seorang Soeroso Dasar yang merupakan Dosen dan Peneliti senior di Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung sekaligus sebagai Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Provinsi Jawa Barat. Menurutnya, sejak mulai masa kampanye sampai komentar-komentar para ahli, tidak ada yang menyinggung persoalan besarnya jumlah penduduk akan menjadi kendala utama. Dari pantauannya, hanya pernah sekali para ahli ekonomi bicara di layar televisi swasta yang mengulas sejak Orde Baru hingga sekarang distribusi penduduk tidak merata. Pulau Jawa dihuni oleh 70 persen, dan sisanya ada di luar Jawa.
“Lantas bagaimana pembangunan akan bisa dilaksanakan secara merata? Sementara pada sisi lain Jawa menghisap pendapatan dan sumber daya dari luar Jawa. Kalaulah pemerintah yang baru nantinya akan dibentuk setelah Pemilu Presiden, tidak menyentuh masalah kependudukan, format pembangunannya akan sama saja dengan sekarang. Setali tiga uang. Bahkan, bisa-bisa tantangan pembangunan di Republik Indonesia ini akan semakin parah, “tegas Soeroso. Semua mengatakan memusuhi kemiskinan, memusuhi pengangguran, memusuhi kelangkaan pangan bahan bakar minyak, serta lainnya yang dianggap menyengsarakan masyarakat.
Semua ingin menuntaskan kemiskinan, membuka peluang usaha dan pekerjaan, sekolah gratis dan pengobatan gratis. Berbagai retorika serta janji indah disampaikan. Tetapi tidak ada yang menyampaikan salah satu cara menyelesaikannya adalah dengan menekan laju pertumbuhan penduduk (LPP). Karena menekan LPP berarti pendekatan melalui demand side. Sementara janji muluk semuanya melalui pendekatan supply side. Lantas formula apa yang akan ditampilkan mereka ? sementara pada saat yang sama jumlah penduduk harus terus diurus terus bertambah. Ada setitik cerah tatkala seorang calon presiden dari partai yang masuk dalam tiga besar hasil hitung cepat pemilihan anggota legislatif mengatakan, masalah melilit negeri ini adalah tingkat kemiskinan dan ketimpangan yang tinggi, korupsi dan pertumbuhan penduduk. Kalaulah semua capres yang akan diusung mempunyai pola pandang yang sama, cahaya terang di depan yang akan mengangkat peradaban bangsa Insya Alloh akan terwujud. Beberapa becak dan belakang mobil di pantura juga menyinggung program KB ditempel oleh calegnya. Namun jumlahnya sedikit sekali, dapat dihitung jari. Bisa dibayangkan, masalah yang demikian strategis dan menentukan tidak menjadi isu utama dalam pesta politik hari-hari ini, kata Soeroso.
Kita sudah lama tertinggal dari negara-negara sahabat. Bahkan, dengan negara yang lebih belakangan merdeka pun kita tertinggal. Bukan negeri ini tidak ada pembangunannya. Tetapi kecepatan mereka yang menikmati kue pembangunan yang membuat seolah pembangunan tidak berarti. Celakanya, kita tetap memelihara kebodohan yang sama. Lebih senang mengutak-atik masalah hilir, sementara masalah hulu ditinggalkan. Masalah hulu adalah masalah pertumbuhan penduduk yang belum bisa dikendali. Departemen yang mengurus masalah hilir (akibat), begitu banyaknya, sedangkan yang mengurus masalah hulu (sebab), hanya diserahkan kepada sebuah badan yang bernama BKKBN. Maka pingsanlah BKKBN mengurus pertumbuhan penduduk yang mendekati 250 juta orang itu. Dan, pembangunan negeri seperti menggarami air di laut. Lihat, hasil kajian SDKI tentang jumlah anak yang diinginkan masyarakat Indonesia. Selama sepuluh tahun terakhir tidak bergerak, yakni 2,6 anak per seorang wanita subur. Artinya, sekian triliun uang yang dikeluarkan untuk program KB hasilnya hanya mampu mempertahankan cara pandang masyarakat. “Ya, karena program KB Cuma jadi pelengkap dan pemanis bibir saja. Padahal, dampak sosial dari kegagalan program ini sangat luar biasa. Masyarakat pun merespons dengan hal yang sama, karena komitmen politik pemerintah abu-abu warnanya, “haru Soeroso.
Sejak mulai reformasi, sebenarnya program sudah dikerdilkan. Mulai dari anggaran, kelembagaan, sumber daya manusia dan lainnya dimarjinalkan sampai pada titik yang paling bawah. Cara pandang elite di awal reformasi berubah total terhadap program KB dan kependudukan. KB tidak penting, dan KB seolah warisan dari rezim Soeharto. Padahal, Prof. Renald Kasali, seorang ahli manajemen dari Universitas Indonesia mengatakan, kesalahan rezim setelah reformasi adalah membabat semua program Orde Baru. Nyatanya tidak semua program orde baru jelek. Dia menunjuk, program swasembada pangan, KB ataupun pendidikan pancasila dan kewarganegaraan dianggap baik. Namun karena semuanya dibabat, maka kita mulai dari nol. Yang baik pun disingkirkan. Apakah ini ego politik atau dendam politik? Entahlah. Namun sebaiknya, apapun itu apabila untuk kesejahteraan dan peningkatan peradaban bangsa, hendaknya dipertahankan dan titingkatkan. Belakangan, ada upaya reposisi program, bahkan setelah direposisi, direposisi kembali dengan istilah KB Kencana. Hasilnya? Tidak segampang yang kita bayangkan. Karena program sudah terlanjur jatuh terjerambab. Terlebih, di era otonomi daerah, ujung tombak justru ada di Kabupaten dan Kota, dengan warna politik yang sangat pelangi, benih-benih penghalang pun akan terjadi.
“Sudah terlalu lama program kependudukan dan KB tertidur lelap. Sudah terlalu lama program ini asyik dengan mimpinya sendiri. Sementara dalam kehidupan nyata tantangan pembangunan semakin berat, masyarakat Indonesia terus menjerit. Pengangguran, kemiskinan, diparsitas pendapatan, sekolah mahal, kelangkaan pangan dan BBM, sumber daya alam terus menipis, lingkungan yang rusak serta segudang persoalan di depan menanti. Banyak jurus yang disampaikan para elit politik menghadapi Indonesia ke depan. Tapi ada jurus yang Insya Alloh sangat tepat, yakni menata kembali pembangunan kependudukan dan KB. Pembangunan fisik belum tentu akan mengangkat peradaban manusia. Sedangkan pembangunan kependudukan sudah pasti akan mengangkat peradaban manusia. Apa lagi yang kau cari hai para elit negeri ini, “tegas Soeroso. (Mamay)
No comments:
Post a Comment