Pangandaran (Lawunews.Com)
Peristiwa yang menimpa seorang Susi Puji Astuti merupakan cerminan dari keuletan, kerja keras serta kejujuran meskipun hanya bermodalkan ijazah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, namanya menyeruak kepermukaan diantara puluhan menteri lainnya dalam kabinet kerja Jokowi-JK. Dan ini menjadi hikmah dan peristiwa terbesar yang harus dijadikan cambuk serta motivasi bagi para pejabat lainnya yang notabene penuh dengan title jabatan yang melekat tapi tidak diimbangi dengan kedpribadian dengan ilmu yang dimilikinya.
Rekam jejak dari Susi, meskipun hanya lulusan SMP justru terlihat jelas bahwa ia mengamalkan berbagai ilmu manajemen yang banyak diteorikan oleh para pakar manajemen. Kegilaan Susi bermula, Pesawat Cessna yang semula hanya dipakai untuk mendukung ekspor hasil lautnya ternyata mampu menggugah semangat wirausahanya untuk masuk ke bisnis baru, pesawat carteran. Berkat sepak terjangnya tersebut, tahun ini ia bakal memiliki 14 pesawat kecil yang terbang ke daerah-daerah pelosok, termasuk Aceh dan Papua. Keputusannya keluar dari sekolah saat masih berusia 17 tahun memang sangat disesalkan orangtuanya.
Namun, berkat keuletan dan kerja kerasnya, kini Susi Puji Astutimemiliki 50 pesawat dan pabrik pengolahan ikan yang berkualitas untuk melayani kebutuhan ekspor. Susi adalah presiden direktur PT ASI Pudjiastuti yang bergerak di bidang perikanan dan PT ASI Pudjiastuti Aviation, operator penerbangan Susi Air. Dari 50 pesawat milik wanita kelahiran 15 Januari 1965 itu, antara lain, Grand Caravan 208B, Piaggio Avanti II, Pilatus Porter, dan Diamond DA 42. Sebagian besar pesawat itu dioperasikan di luar Jawa seperti Papua dan Kalimantan.
Susi tak mematok harga sewa pesawat secara khusus, tetapi rata-rata USD 400-USD 500 per jam. ”Kadang ada yang mau USD 600- USD 700 per jam. Perusahaan minyak mau bayar USD 1.000 karena beda-beda level service yang dituntut. Untuk keperluan terbang, semua piranti disediakan Susi Air. Pesawat, pilot, maupun bahan bakar. Jadi, itu harga nett mereka tinggal bayar,” tegasnya. ”Kami mulai bersinggungan dengan dunia penerbangan tahun 2000, tapi nggak laku. Kami diketawain oleh orang bank dan dianggap gila. Mau beli pesawat USD 2 juta, bagaimana hanya dengan ikan dan udang bisa bayar!” ujarnya menirukan ledekan yang diterimanya. Baru pada 2004, Bank Mandiri percaya dan memberi pinjaman USD 4,7 juta (sekitar Rp 47 miliar) untuk membangun landasan serta membeli dua pesawat Cessna Grand Caravan.
Perkembangan bisnis sewa pesawat terus melangit. Utang dari Bank Mandiri sekitar Rp 47 miliar sekarang tinggal 20 persennya. ”Sebentar lagi juga lunas!” sambungnya optimis. Sedangkan utang di BRI, sebagian baru mulai cicil. Kalau ditotal, semua utang dari perbankan, lebih dari Rp 2 triliun. Urusan mengangsur tak begitu dipusingkan, karena Susi tak hanya menebar jaring di laut, mengepakkan sayap di bisnis pesawat dan menebar jaring di laut. Sekarang, dia merambah bisnis perkebunan. ”Perikanan kami sempat hampir limbung akibat tsunami Pengandaran 2005. Hampir dua tahun nggak ada kerja perikanan,” tuturnya. Untuk penerbangan rute Jawa seperti Jakarta-Pangandaran, Bandung-Pangandaran, dan Jakarta- Cilacap, diakuinya masih merugi. Sebab, sering terjadi hanya ada 3-4 penumpang.
Dengan harga tiket rata-rata Rp 500.000,-, tidak cukup untuk membeli bahan bakar. ”Sebulan rute Jawa bisa rugi Rp 300 juta-Rp 400 juta. Tapi, kan tertutupi dari yang luar Jawa. Lagian, itu juga berguna untuk angkut perikanan kami,” ujarnya. Susi memang mengutamakan bisnis ikan segarnya. Dengan pesawat, tinggal landas, bisa mengangkut 1,1 ton ikan atau lobster segar. Pembelinya dari Hongkong dan Jepang setiap hari menunggu di Jakarta. ”Bisnis ikan serta lobster tetap kami utamakan, dan bisnis penerbangan terus kami kembangkan!” ungkapnya. (Mamay)

No comments:
Post a Comment